“Aku
bisa sendiri” aku menghempaskan tangannya dengan kasar ketika ia mencoba
membersihkan makanan di bibirku.
Ia
terdiam, aku tetap sibuk dengan buger yang sejak tadi menggodaku.
“Kita
udah beda,ga sama, semua udah ga bisa di ubah seperti dulu lagi.”
Tatapannya dingin,
masih memojokanku dengan raut wajah yang menyebalkan.
“Kenapa ngajak ketemu
lagi?” Tanya ku panas dan sinis. “Belum cukup sama apa yang kamu lakukan selama
ini? Apa kamu tahu aku tak suka dengan kebohongan?”
Ia menatapku dengan tatapan yang
memelas, aku menangkap sinyal kesalahan di matanya. Tapi aku tak peduli, rasa
kasihanku telah habis untuknya. Aku muak menatapnya, pertemuan ini tak akan
terjadi jika dia tak bersungut-sunggut seperti di telpon tadi.
“Aku minta maaf.” Ucapanya lugu namun
penuh rayu. “Aku salah.”
“Baru sadar sekarang? Kemana aja,
tolol!”
“Aku menyesal. Aku menyesal. Aku
menyesal.”
“gampang buat bilang menyesal!”
“aku
bener bener menyesal”
“empat
kali lho kamu bilang menyesal di menit ini”
“yaaang..”ia
memanggilku dengan lembut, aku tak bisa menahan tatapanku agar tak menyorot
matanya.
“apa?”
“maafin
aku.”
“aku
udah maafin kamu sebelum kamu minta maaf.”
“sungguh?”
Aku menganggu tanpa
fikir panjang, tak ingin percakapan ini berlangsung dengan lamban. Aku ingin
cepat cepat berakhir. Dan semoga wajah childish, dan bola mata yang sayu ini
tak lagi ku tatap.
“Aku
menyesal, yang”
“lima
kali! Cukup! Aku bosan mendengar kata ‘menyesal’ dari mulutmu, sementara kamu
sendiri tak pernah mencoba untuk berubah.”
“Aku harus berbuat apa agar kamu
benar-benar ikhlas memaafkanku?”
“ga perlu, semua udah lewat. Aku ga
perlu ingat-ingat yang lalu. Semuanya sampah.”
Nada bicaraku
mendiamkan gerak bibirnya, ia menatapku dengan linangan airmata.
“jangan menatapku seperti itu,
kesabaran ku sudah cukup untuk mengahadapi sikap kamu.”
Ia tak banyak bicara,
hanya mendengarkan aku yang terus saja memakinya. Tiba-tiba perasaan kesal
muncul lagi, bayang-bayang pahit itu kembali berserakan. Aku tak bisa menahan
diriku untuk tak memikirkan peristiwa itu. Saat aku mendapati dirinya berangkat
ke acara Jakcloth bersama lawan jenis, saat dia tak ada di saat aku butuh
dirinya, saat aku mendapati dirinya bersama mantannya, dan sekarang batas
kesabaran ku sudah habis. Aku ingin semuanya berlalu seperti angin. Sungguh,
aku tak ingin mnegingat cara dia menyakitiku, tapi aku terlalu lemah.
Aku tak bisa menyangkal diri bahwa aku
sangat mencintainya, dia sudah menjadi bagian nafas ku selama 5bulan terakhir.
Aku tak mungkin bisa melupakan seseorang yang sudah mengisi hari-hariku dengan
ke luguannya, kekanak-kanakanya, sifat manjanya. Dan rasannya itu sangat cepat.
Aku butuh waktu. Tapi
semua di luar prediksiku, saat aku ingin melupakannya, dia malah hadir. Berkata
maaf, mengucap kata menyesal,dan segala kalimat yang terlontar. Tapi semua itu
gagal untuk mencairkan hati ku yang sudah sangat beku.
Aku hanya bisa
membohongi diriku sendiri. Memakinya, mencemoohnya, dan menghujaninya dengan
nada membentak, namun sebenarnya aku tersiksa. Aku tak bisa menyakiti seseorang
yang aku cintai, wanita yang ingin aku banggakan di depan semua orang. Aku
lelah terus-menerus menyangkal diri sendiri. Aku mencoba menyadarkan fikiranku
yang sempat goyah, kembali meletakan akal sehatku pada kenyataan yang ada. Aku
tak mungkin menerimanya kembali, sekeras apapun ia meminta, ia meronta, ataupun
berlutut di depanku.
Setelah lama ku diam, dia menangis.
Seluruh mata pengunjung restaurant bergeser kearah kami. Ini air mata yang
kesekian kalinya yang pernah aku lihat. Apakah ini bagian dari kebohongan?
“sudahlah, Cintya. Aku bukan laki-laki
bodoh, kamu berhadapan sama orang yang salah. Jauh jauh dari pandanganku, atau
perlu menghilanglah dari muka bumi ini!”
“aku akan menghilang tanpa kau minta,
putro.”
“baguslah, sadar diri!”
“dan takkan pernah kembali”
“itu lebih bagus, selamanya kalo
perlu!”
“iyaaa selamanya :””””)”
Dia
mengulang kata ‘selamanya’ dengan
tatapan yang lugu di sertai mata yang sembab. Aku tak mau berlama lama melihat
tatapanya, aku mengajak tya pulang yang masih lemas setelah mendengar
perkataanku. Aku berhasil lepas dari genggamannya, tuhan terimakasih.
*****
Tak
ada lagi komunikasi dengan gadis kecil itu. Aku tak mau tahu lagi kabarnya. Dan
telingaku tak mau lagi mendengar namanya.
Aku menjalani hari
hari ku seperti biasa, walaupun sedikit berbeda. Tanpa pesan singkatnya, tanpa
suara ditelpon genggam ku dengan suara yang khas. Aku bahkan berprestasi dalam
segala bisnis, band, dan kuliah ku, tak peduli pada masalalu yang sempat
membayangiku selama ini. Tapi aku memang tak mampu menyangkal, wajah Cintya
yang masih hadir dalam malamku ketika aku sedang mendengar lagu favorite kita
dulu. I love you for a thousand year, I’ll love you for a thousand more,
Cristiana perry selalu pandai menyanyikan lagu ini dengan suara yang mendayu
dayu namun mengemaskan. Memang benar, sebuah lagu mampu melempar seseorang ke
masalalunya, dan aku selalu mengalami hal itu, lagi dan lagi.
Entah mengapa, hari-hariku memang
terasa lebih sepi. Aku sering iri melihat teman teman bandku yang selalu di
temani saat kita perform dan aku hanya berjalan sendirian. Yaaaah nasib cowo
single. Cintya, dulu, selalu mengatur ku, mengarahkan hidup, mengigatkan aku
shalat lima waktu. Okey cukup! Aku tak ingin mengingat dia lagi. Aku
membencinya dan sepertinya rasa ku berangsur-angsur mulai hilang.
Siang ini, aku sudah bersiap-siap ke
kampus. Belum sempat membuka pintu kamar, ponselku berdering. Aku menatap ke
layar ponsel, nomer tak di kenal. Sebenarnya aku tak ingin mengangkat panggilan
tersebut, tapi entah mengapa rasanya panggilan tersebut sangat penting.
“Halo..”
“Hallo, putro?”
Terdengar suara wanita yang rasa
rasanya tidak asing di telinga.
“ini tante, nak”
“tante?”
“mama Cintya”
Deg. Aku lemas, rasanya sulit untuk
membuka suara. Aku berusaha keras untuk menahan emosiku dan perasaanku yang
mulai tak stabil.
“iya kenapa tante?”
“mau temenin tante sebentar engga?”
“kemana tante?”
“ke suatu tempat, mungkin kamu suka”
Aku terdiam dan agak berfikir dengan
keras. Namun satu kata meluncur dari bibirku tanpa kuduga, “oke”
*****
“sebenarnya tante udah lama pengen
ajak kamu kesana.”
Aku masih bingung, tak
mengerti arah tujuan mobil yang aku stir. Di mobil aku hanya mengangguk-angguk pelan
sambil focus menyetir, tak mengerti pada pembicaraan yang ngalor ngidul.
“kita mau kemana, tant?”
“nanti juga kamu tau sendiri”
Jawaban tersebut sama
sekali tak membuat ku merasa puas. Kami melewati padang ilalang dan hamparan
rumput yang menghijau. Tanah yang terlihat cukup gersang namun untungnya cuaca
hari itu tak begitu panas. Beberapa menit kemudian, Mama sastya menggunakan
kacamata hitam dan kerudung berwarna hitam. Ia mengeluarkan kembang tujuh rupa.
Aku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya?
Mama Cintya memintaku untuk
menghentikan mobil dan rasa ingin tahuku semankin menjadi-jadi. Kami berjalan
melewati tanah yang gersang tadi, dan sejauh mata memandang ada beberapa nisan
yang terlihat. Aku baru tahu tahu tempat seindah ini ada pemakaman.
Beliau menuntunku
terus berjalan, kemudian berhenti di sebuah nisan. Aku tak memerhatikan dengan
jelas tulisan di nisan itu, aku hanya menatap wajah wanita yang sangat mirip
dengan Cintya itu, semakin erat genggaman tangannya menggengam jemariku.
Wanita jelmaan Cintya
itu sedikit berjongkok, dan akupun ikut berjongkok.
“Sudah 2bulan, potro”
Aku masih diam, dan mendengarkan,
karena mungkin saja mendengarkan member aku jawaban.
“Dia pergi sesuai permintaanmu.”
Dia? Siapa? Aku tak mengerti, aku
masih menyimak perkataan wanita ini dengan santun dan tegas.
“Cintya sakit, dia selalu sembunyikan
penyakitnya dari siapapun.”
Dalam hati kecil aku
menjawab, Cintya sakit? Baguslah, itu karma untuknya, karena telah menyakitiku.
“Kamu sama Cintya sudah pacaran berapa
lama?”
Aaah, sialan,
mengungkit masalalu. Masa yang tak pernah ingin ku ingat.
“Cintya tahu kamu sangat mencintainya,
makanya ia tak ingin kepergiannya menyakitimu.”
Aku terdiam. Masih tak paham.
“Ia merencanakan segalanya sangat
rumit, membuat semuanya seakan akan terjadi tidak sengaja”
“Merencanakan?”
Tatapan ku tajam
menyapu wajah wanita itu, matanya tak terlalu terlihat, kacamata hitam
memburamkan tatapanya.
“Mungkin Cintya sengaja menyakitimu
agar kamu tak begitu menyesal ketika dia pergi. Itulah wujud yang sebenarnya,
bahwa dia tak ingin melihatmu terluka lebih dari sebelum sebelumnya ia
mengecewakanmu. Sebenarnya rasa sayang nya begitu besar”
Omong kosong! Teriakku
dalam hati.
“Dia sangat menginginkanmu bahagia
putro. Dan kau tak menyadari bahwa pertemuan terakhir kalian adalah saat kau
mencacinya di restaurant.”
Jutaan panah seperti
melesat ke jantungku. Aku tak bisa bernafas.
Dan pertama kalinya
aku menatap nisan itu. Ada namanya. Nama wanita yang selama ini sempat
memutarbalikan duniaku. Cintya Pangestika.
“Perjuanganya memang tidak sia-sia kau
tidak terlihat terluka dan menyesal. Cintya berhasil menahan airmatamu, Putro…
lihatlah kamu tidak mengeluarkan airmata sedikitpun.”
Aku terdiam tidak bisa
berkomentar apapun. Bibirku terlalu kelu menahan tangis. Aku tak menyangka
perjuangan Cintya begitu besar untuk kebahagiaanku.
Nafasku masih
tercekat, dan sekarang aku tahu rasanya menangis.
No comments:
Post a Comment