Monday 17 December 2012

SETELAH KITA PUTUS




          “Aku bisa sendiri” aku menghempaskan tangannya dengan kasar ketika ia mencoba membersihkan makanan di bibirku.
          Ia terdiam, aku tetap sibuk dengan buger yang sejak tadi menggodaku.
          “Kita udah beda,ga sama, semua udah ga bisa di ubah seperti dulu lagi.”
Tatapannya dingin, masih memojokanku dengan raut wajah yang menyebalkan.
“Kenapa ngajak ketemu lagi?” Tanya ku panas dan sinis. “Belum cukup sama apa yang kamu lakukan selama ini? Apa kamu tahu aku tak suka dengan kebohongan?”
          Ia menatapku dengan tatapan yang memelas, aku menangkap sinyal kesalahan di matanya. Tapi aku tak peduli, rasa kasihanku telah habis untuknya. Aku muak menatapnya, pertemuan ini tak akan terjadi jika dia tak bersungut-sunggut seperti di telpon tadi.
          “Aku minta maaf.” Ucapanya lugu namun penuh rayu. “Aku salah.”
          “Baru sadar sekarang? Kemana aja, tolol!”
          “Aku menyesal. Aku menyesal. Aku menyesal.”
          “gampang buat bilang menyesal!”
“aku bener bener menyesal”
“empat kali lho kamu bilang menyesal di menit ini”
“yaaang..”ia memanggilku dengan lembut, aku tak bisa menahan tatapanku agar tak menyorot matanya.
“apa?”
“maafin aku.”
“aku udah maafin kamu sebelum kamu minta maaf.”
“sungguh?”
Aku menganggu tanpa fikir panjang, tak ingin percakapan ini berlangsung dengan lamban. Aku ingin cepat cepat berakhir. Dan semoga wajah childish, dan bola mata yang sayu ini tak lagi ku tatap.
“Aku menyesal, yang”
“lima kali! Cukup! Aku bosan mendengar kata ‘menyesal’ dari mulutmu, sementara kamu sendiri tak pernah mencoba untuk berubah.”
          “Aku harus berbuat apa agar kamu benar-benar ikhlas memaafkanku?”
          “ga perlu, semua udah lewat. Aku ga perlu ingat-ingat yang lalu. Semuanya sampah.”
Nada bicaraku mendiamkan gerak bibirnya, ia menatapku dengan linangan airmata.
          “jangan menatapku seperti itu, kesabaran ku sudah cukup untuk mengahadapi sikap kamu.”
Ia tak banyak bicara, hanya mendengarkan aku yang terus saja memakinya. Tiba-tiba perasaan kesal muncul lagi, bayang-bayang pahit itu kembali berserakan. Aku tak bisa menahan diriku untuk tak memikirkan peristiwa itu. Saat aku mendapati dirinya berangkat ke acara Jakcloth bersama lawan jenis, saat dia tak ada di saat aku butuh dirinya, saat aku mendapati dirinya bersama mantannya, dan sekarang batas kesabaran ku sudah habis. Aku ingin semuanya berlalu seperti angin. Sungguh, aku tak ingin mnegingat cara dia menyakitiku, tapi aku terlalu lemah.
          Aku tak bisa menyangkal diri bahwa aku sangat mencintainya, dia sudah menjadi bagian nafas ku selama 5bulan terakhir. Aku tak mungkin bisa melupakan seseorang yang sudah mengisi hari-hariku dengan ke luguannya, kekanak-kanakanya, sifat manjanya. Dan rasannya itu sangat cepat.
Aku butuh waktu. Tapi semua di luar prediksiku, saat aku ingin melupakannya, dia malah hadir. Berkata maaf, mengucap kata menyesal,dan segala kalimat yang terlontar. Tapi semua itu gagal untuk mencairkan hati ku yang sudah sangat beku.
Aku hanya bisa membohongi diriku sendiri. Memakinya, mencemoohnya, dan menghujaninya dengan nada membentak, namun sebenarnya aku tersiksa. Aku tak bisa menyakiti seseorang yang aku cintai, wanita yang ingin aku banggakan di depan semua orang. Aku lelah terus-menerus menyangkal diri sendiri. Aku mencoba menyadarkan fikiranku yang sempat goyah, kembali meletakan akal sehatku pada kenyataan yang ada. Aku tak mungkin menerimanya kembali, sekeras apapun ia meminta, ia meronta, ataupun berlutut di depanku.
          Setelah lama ku diam, dia menangis. Seluruh mata pengunjung restaurant bergeser kearah kami. Ini air mata yang kesekian kalinya yang pernah aku lihat. Apakah ini bagian dari kebohongan?
          “sudahlah, Cintya. Aku bukan laki-laki bodoh, kamu berhadapan sama orang yang salah. Jauh jauh dari pandanganku, atau perlu menghilanglah dari muka bumi ini!”
          “aku akan menghilang tanpa kau minta, putro.”
          “baguslah, sadar diri!”
          “dan takkan pernah kembali”
          “itu lebih bagus, selamanya kalo perlu!”
          “iyaaa selamanya :””””)”
Dia mengulang kata ‘selamanya’ dengan tatapan yang lugu di sertai mata yang sembab. Aku tak mau berlama lama melihat tatapanya, aku mengajak tya pulang yang masih lemas setelah mendengar perkataanku. Aku berhasil lepas dari genggamannya, tuhan terimakasih.
                                                                                                                   *****
Tak ada lagi komunikasi dengan gadis kecil itu. Aku tak mau tahu lagi kabarnya. Dan telingaku tak mau lagi mendengar namanya.
Aku menjalani hari hari ku seperti biasa, walaupun sedikit berbeda. Tanpa pesan singkatnya, tanpa suara ditelpon genggam ku dengan suara yang khas. Aku bahkan berprestasi dalam segala bisnis, band, dan kuliah ku, tak peduli pada masalalu yang sempat membayangiku selama ini. Tapi aku memang tak mampu menyangkal, wajah Cintya yang masih hadir dalam malamku ketika aku sedang mendengar lagu favorite kita dulu. I love you for a thousand year, I’ll love you for a thousand more, Cristiana perry selalu pandai menyanyikan lagu ini dengan suara yang mendayu dayu namun mengemaskan. Memang benar, sebuah lagu mampu melempar seseorang ke masalalunya, dan aku selalu mengalami hal itu, lagi dan lagi.
          Entah mengapa, hari-hariku memang terasa lebih sepi. Aku sering iri melihat teman teman bandku yang selalu di temani saat kita perform dan aku hanya berjalan sendirian. Yaaaah nasib cowo single. Cintya, dulu, selalu mengatur ku, mengarahkan hidup, mengigatkan aku shalat lima waktu. Okey cukup! Aku tak ingin mengingat dia lagi. Aku membencinya dan sepertinya rasa ku berangsur-angsur mulai hilang.
          Siang ini, aku sudah bersiap-siap ke kampus. Belum sempat membuka pintu kamar, ponselku berdering. Aku menatap ke layar ponsel, nomer tak di kenal. Sebenarnya aku tak ingin mengangkat panggilan tersebut, tapi entah mengapa rasanya panggilan tersebut sangat penting.
          “Halo..”
          “Hallo, putro?”
          Terdengar suara wanita yang rasa rasanya tidak asing di telinga.
          “ini tante, nak”
          “tante?”
          “mama Cintya”
          Deg. Aku lemas, rasanya sulit untuk membuka suara. Aku berusaha keras untuk menahan emosiku dan perasaanku yang mulai tak stabil.
          “iya kenapa tante?”
          “mau temenin tante sebentar engga?”
          “kemana tante?”
          “ke suatu tempat, mungkin kamu suka”
          Aku terdiam dan agak berfikir dengan keras. Namun satu kata meluncur dari bibirku tanpa kuduga, “oke”
                                                                                                                   *****
          “sebenarnya tante udah lama pengen ajak kamu kesana.”
Aku masih bingung, tak mengerti arah tujuan mobil yang aku stir. Di mobil aku hanya mengangguk-angguk pelan sambil focus menyetir, tak mengerti pada pembicaraan yang ngalor ngidul.
          “kita mau kemana, tant?”
          “nanti juga kamu tau sendiri”
Jawaban tersebut sama sekali tak membuat ku merasa puas. Kami melewati padang ilalang dan hamparan rumput yang menghijau. Tanah yang terlihat cukup gersang namun untungnya cuaca hari itu tak begitu panas. Beberapa menit kemudian, Mama sastya menggunakan kacamata hitam dan kerudung berwarna hitam. Ia mengeluarkan kembang tujuh rupa. Aku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya?
          Mama Cintya memintaku untuk menghentikan mobil dan rasa ingin tahuku semankin menjadi-jadi. Kami berjalan melewati tanah yang gersang tadi, dan sejauh mata memandang ada beberapa nisan yang terlihat. Aku baru tahu tahu tempat seindah ini ada pemakaman.
Beliau menuntunku terus berjalan, kemudian berhenti di sebuah nisan. Aku tak memerhatikan dengan jelas tulisan di nisan itu, aku hanya menatap wajah wanita yang sangat mirip dengan Cintya itu, semakin erat genggaman tangannya menggengam jemariku.
Wanita jelmaan Cintya itu sedikit berjongkok, dan akupun ikut berjongkok.
          “Sudah 2bulan, potro”
          Aku masih diam, dan mendengarkan, karena mungkin saja mendengarkan member aku jawaban.
          “Dia pergi sesuai permintaanmu.”
          Dia? Siapa? Aku tak mengerti, aku masih menyimak perkataan wanita ini dengan santun dan tegas.
          “Cintya sakit, dia selalu sembunyikan penyakitnya dari siapapun.”
Dalam hati kecil aku menjawab, Cintya sakit? Baguslah, itu karma untuknya, karena telah menyakitiku.
          “Kamu sama Cintya sudah pacaran berapa lama?”
Aaah, sialan, mengungkit masalalu. Masa yang tak pernah ingin ku ingat.
          “Cintya tahu kamu sangat mencintainya, makanya ia tak ingin kepergiannya menyakitimu.”
          Aku terdiam. Masih tak paham.
          “Ia merencanakan segalanya sangat rumit, membuat semuanya seakan akan terjadi tidak sengaja”
          “Merencanakan?”
Tatapan ku tajam menyapu wajah wanita itu, matanya tak terlalu terlihat, kacamata hitam memburamkan tatapanya.
          “Mungkin Cintya sengaja menyakitimu agar kamu tak begitu menyesal ketika dia pergi. Itulah wujud yang sebenarnya, bahwa dia tak ingin melihatmu terluka lebih dari sebelum sebelumnya ia mengecewakanmu. Sebenarnya rasa sayang nya begitu besar”
Omong kosong! Teriakku dalam hati.
          “Dia sangat menginginkanmu bahagia putro. Dan kau tak menyadari bahwa pertemuan terakhir kalian adalah saat kau mencacinya di restaurant.”
Jutaan panah seperti melesat ke jantungku. Aku tak bisa bernafas.
Dan pertama kalinya aku menatap nisan itu. Ada namanya. Nama wanita yang selama ini sempat memutarbalikan duniaku. Cintya Pangestika.
          “Perjuanganya memang tidak sia-sia kau tidak terlihat terluka dan menyesal. Cintya berhasil menahan airmatamu, Putro… lihatlah kamu tidak mengeluarkan airmata sedikitpun.”
Aku terdiam tidak bisa berkomentar apapun. Bibirku terlalu kelu menahan tangis. Aku tak menyangka perjuangan Cintya begitu besar untuk kebahagiaanku.
Nafasku masih tercekat, dan sekarang aku tahu rasanya menangis.

No comments:

Post a Comment