Wednesday 19 December 2012

KETIKA TASBIH DAN SALIB BERSATU



Malam itu, hujan turun. Siluet manis sekaligus pahit membenak di pikiranku. Saat itu, kita saling menyebut asma Tuhan bersama walau dengan cara yang berbeda. Kau lipat kedua tanganmu, ku tengadahkan kedua tanganku. Ku sebut bismilah, kau ucap lafal lain yang entah tak ku ketahui pasti. Intinya, kita sama. Sama – sama menyebut Tuhan. Sama – sama memanggil asmaNya disaat semua orang menatap hina ke arah kita.

Ku palingkan wajahku menghadapmu yang masih khusyuk berdoa. Walau hanya berteduh atap halte kecil, walau kadang titik hujan menetes mengenaimu, walau angin terus menerpa anak-anak rambutmu, walau badanmu yang kedinginan, walau dan walau lainnya pun kau tetap khusyuk menyebut asmaNya dalam doamu.

Aku tak pernah tahu apa saja yang kau adukan pada Tuhanmu hingga membuatmu selalu lebih lama berdoa daripada ku. Rentetan huruf-huruf yang terlontar dari bibir mungilmu semakin membuat ku penasaran. Walau hanya terdengar seperti gumaman kecil di telingaku, aku percaya kau dan aku berdoa untuk tujuan yang sama. Menyatukan perbedaan.

Bagiku, dirimu hanyalah terlihat pria sederhana. Pria sederhana yang mampu menggamit otakku untuk menerka-nerka bayangmu. Pria sederhana, yang selalu membuat hatiku gelisah saat tak mendengar kabarmu. Pria sederhana, yang tak jengah mengingatkanku untuk bersujud kepadaNya. Pria sederhana, yang selalu memarahiku saat ku mengeluh tentang Tuhanku. Pria sederhana yang selalu menuntutku agar ku taat pada Tuhanku. Dirimu, sederhana tapi tak sarat untukku.


Sore ini hujan turun. Hujan tak pernah turun di saat yang tepat. Saat hatiku menguak luka kisah cintaku, alam pun ikut menusukkan paku diluka itu. Ku ambil air wudu dan segera menyucikan diri untuk kembali melaksanakan kewajibanku. Saat takbir ku mulai, ku fokuskan semua pacuan otakku hanya padaMu, ku serahkan ragaku untukMu, ku lafalkan asmaMu dan kuadukan semua kepenatanku padaMu.

Tuhan, apa ini sepenuhnya salahku ? Aku terlanjur mencintai pria berkalung salib itu, Tuhan. Seharusnya ini tak pernah terjadi. Tak harus pernah terjadi, kalaupun terlanjur terjadi kenapa harus seperti ini ? kenapa dogma Agama begitu tegas melarang ku dan dia untuk bersama ? seharusnya tak perlu Kau kenalkan aku dengannya dan tak perlu juga Kau kenalkan dia denganku. Untuk apa kita bertemu, kalau Kau tak urung pisahkan kita di suatu ketika.

Katanya, cinta selalu bisa menyamakan perbedaan. Katanya Indonesia menjunjung tinggi Persatuan, walaupun berbeda tapi tetap satu jua. Tapi apa itu semua cuma katanya. Aku butuh logikaMu bukan logika orang yang menghinaku, mencibirku ataupun merendahkanku, agar pada saat itu ku percaya pilihan ini tepat untukku.


Hujan lagi. Siluet otakku kembali ke malam itu. Kau tersenyum manis setelah selesai mengadu denganNya. Kau genggam jemariku lembut. “aku selalu mencintaimu, setelah Tuhanku dan orang tuaku,” itu katamu. Aku tersenyum, kembali kau buat kedua pipiku merona karna tersipu ucapanmu. Tapi..

“maaf jaaar, lebih baik kita sendiri” kau lepas genggaman tanganmu. Senyummu tadi memudar begitu saja. “Kita harus akhiri ini. Sekuat apapun kita bertahan, aku dan kamu tak akan pernah lama menjadi kita. Karna Tuhan kita berbeda. Kita tak mungkin bisa menyatukan Tuhan kita masing-masing.”

Ku usap kedua pipimu, mengecupnya kilat. Tersenyum terakhir untukmu dan berlalu.


Dogma Agama nyata jelas terpeta. Sekuat apapun manusia melawan, sebisa mungkin manusia mengabaikan, setegas mungkin manusia menyatukan, kau dan aku tak akan lama menjadi kita. Tapi, aku dan kamu pernah menulis kisah menjadi kita.

Aku memilihnya. Memilih sendiri, tanpa terikat. Tanpa harus terjerat sebuah dogma, tanpa harus menerima hukum karma dan tanpa harus dipermainkan logika mereka. “Jujur saja, salah satu alasan saya ‘melarikan diri’ adalah untuk mencoba menghentikan hidup saya sementara” itu ucapku. Ucapku di depan altar gerejamu. Tempatmu menyembah Tuhanmu. Terima kasih untuk mencintaiku, aku mencintaimu pria berkalung salib.

No comments:

Post a Comment