Wednesday 19 December 2012
Tasbihku Bukan Rosariomu
Kamu tentu tahu tak mungkin tasbih dan rosario bersatu
Dan kau harus tahu tak mungkin kalung salib itu melingkar di leherku
Dan tak akan ku paksa kau untuk mengenakan sajadah itu
Tentu kita harus tahu memang kita berbeda
1 Januari 1 Syawal atau bahkan 25 Desember
Tak mungkin satu waktu
Tak mungkin satu biasa
Tak mungkin ada ketupat saat tahun baru
Tak mungkin ada pohon natal saat idul fitri
Tak mungkin ada takbir dan tak mungkin ada santa klaus dalam ruang dan waktu yang sama
Hidup dalam keegoan masing-masing
Yang ku mau hanya dirimu
Dan yang kau inginkan hanya diriku
Tapi selama ada dua hari raya, dua kiblat, dan dua jalan
Cinta kita bak cinta tak bertuan
SAAT BERBEDA MENYEBUT NAMA TUHAN
Kamu tentu tahu aku mencintaimu.
Hingga aku harus melawan semua norma
yang ada
Hingga aku harus menutup telingaku.
Pada setiap cercaan dan makian
Kamu pasti mengerti.
Banyaknya masalah yang harus aku
salami.
Hanya untuk bersatu denganmu.
Untuk bisa merengkuh setiap jengkal
pelukmu.
Kamu pasti memaklumi jika aku
mencintaimu.
Walau tasbih ku berbeda dengan kalung
salib mu.
Walau kitabku berbeda dengan kitab
bacaanmu.
Salahkah perbedaan itu sayang?
Dosakah kita jika hanya ingin
memperjuangkan cinta?
Patutkah cinta kita dibela saat semua
orang berkata hina?
Ceritakan pada mereka, sayang. Bahwa
kita bahagia.
Katakan pada mereka, sayang. Bibir
kita tak berdusta.
Bibirku dan bibirmu tak seperti bibir
mereka.
Yang senang merajam sumpah serapah.
Yang senang menuduh jenuh.
Ceritakan pada mereka tentang
kebahagiaan kita.
Biarkan mereka diam membungkam!
Biarkan mereka bungkam!
Sajak yang ku buat.
Setelah ayahku menyiksa tubuh
mungilku.
Karna tahu tentang cinta yang aku
sembunyikan selama ini.
Cinta yang berbeda saat menyebutkan
nama Tuhan.
Kami hanya membiarkan cinta kita
berkembang.
Berkembang tanpa batas.
Norma yang menghalangi.
Norma pula yang memisahkan.
Disudut kamar gelap dengan berteman
sepi.
Angin malam yang berhembus lewat
jendela.
Seakan menjadi teman.
Saat air mataku jatuh tak dapat lagi
dibendung.
Semakin malam semakin teringat.
Setiap siluet tubuh nya.
Yang sekarang tak dapat ku temui.
Hanya dapat memeluk bayang semu
dirinya.
Aku ingin bertemu kamu.
Ingin berdoa bersama-sama.
Meski kita berbeda.
Berbeda dalam menyebut nama Tuhan.
Malam ini, 4 Agustus 2011.
Aku hanya bisa melamun, terdiam.
Sosok dirimu semakin menjadi nyata di
otakku.
Memuatku terbuai dalam lamunanku mala
mini.
Terlintas dilamunan saat aku dan dia
berdoa bersama.
Dimana perbedaan tak dijadikan
masalah.
Tuhan kami sama.
Hanya berbeda saat menyebutnya.
Saat itu, 5 Juni 2011.
Saat pertama kami berdoa bersama.
Berdoa kepada Tuhan yang sama.
Karna kami telah bersatu.
“Aku percaya kepada allah.
Bapa yang maha kuasa. Khalik langit dan bumi. Kepada Yesus kritus. Anaknya yang
tunggal Tuhan kita”
Ucap kekasihku.
Disudut sepi sebuah gereja yang
kudus.
Semua orang yang ada disitu.
Berdo’a dengan khusu nya.
“Bismillahirrohmanirrohim,
alhamdulillahirabbilalamin”
Lembut nya suaraku itu mengalun.
Menambah suasana khidmat saat itu.
Ketenangan didapat.
Seakan berbicara sendiri bersama
Tuhan.
“Yang dikandung dari Roh
Kudus, lahir dari anak Dara Maria. Yang menderita sengsara di bawah
pemerintahan Pontius Pilatius, Disalibkan, Mati, Dan dikuburkan, turun ke dalam
kerajaan maut”
Lanjut kekasihku dengan mata
tertutup.
Dia seakan sangat menikmati.
Persekutuannya dengan Tuhan.
Mendengar pengakuan iman rasuli dari
bibirnya.
“Arrahmanirrohim, malikiyau
middiin”
Bibirku itu masih saja mengimit haru.
Membayangkan Tuhan sedang menatapku.
Wajahku yang begitu cantik bercahaya.
Seusai dibasuh oleh air wudhu.
“Pada hari ketiga, bangkit
pula dari antara orang yang mati. Naik ke sorga, duduk di sebelah kanan Allah.
Bapa yang maha kuasa. Dan disana Ia akan duduk menghakimi orang yang hidup dan
mati”
Perlahan-lahan kekasihku itu semakin
tenggelam.
Dalam suasana kudus dan menyegukkan.
Seakan tubuhnya sedang dipeluk
seseorang.
Dengan begitu hangat.
“Iyya kana’buduwa iyya
kannas ta’im. Ikhdinassiratall mustaqiim”
Aku mengarahkan hatiku pada Tuhan.
Tuhan semakin tersenyum lebar.
Melihat umat-Nya Semakin
mencintai-Nya.
Dan menyadari keberadaan-Nya yang
nyata.
“Aku percaya pada rok
kudus. Aku percaya pada gereja dan am, Persekutuan orang kudus. Pengampunan
dosa. Kebangkitan daging, dan hidup yang kekal”
Hatinya bergetar, bibirnya
berkata-kata.
Kekasihku merasakan kehadiran Tuhan
disisinya.
Kekasihku merasa Tuhan sangat dekat
dengannya.
Bahkan merasa Tuhan sedang
memeluknya.
“Siratalladzi na’an am
ta’alaihim ghairil maghdu bi’alaihim waladzolim. Amin”
Aku mengadahkan kepalaku.
Hatiku bergetar dengan hebat.
Aku rasakan kembali kehadiran-Nya.
Bahkan sangat lekat.
Kekasihku menduduki bangkunya.
Sambil menatap liturgi tempat ibadah.
Hatinya berbicara.
Hatinya mendesah.
“Lindungi kekasihku, yang
sedang berada di mesjid kali ini, Tuhan. Percayalah, dia juga mencintai-Mu. Dia
hanya menyebut namaMu dengan sebutan yang berbeda.”
Akupun mengucap surat Al-Ikhlas.
Hatiku tergetar.
Doa yang lirih.
Terdengar dari hatiku.
“Ya Allah, kekasihku sedang
berada di gereja, apa kau tahu? Diapun juga mencintai-Mu sama seperti aku.
Meski tempat ibadah nya berbeda dengan tempat ibadahku.”
Kekasihku melanjutkan ibadahnya.
Memuji Tuhan dengan hati tulusnya.
Aku bersujud menyembah.
Memuja Tuhan dengan hati yg seluas
samudra.
Dalam hati kami.
Kami mengemit resah.
Meminta restu kepada-Mu.
Tuhan kami meski berbeda sebutan.
“Apa Tuhan
melihat kisah kita? “
Suara petir yang begitu keras.
Petir yang bergemuruh.
Membuyarkan lamunanku.
Tentang doa ku dan doa kekasihku.
Aku menangis.
Meratapi kisah cinta yang
menyedihkan.
Aku mengenal kembali kesepian.
Karna ayahku mengurungku di kamar
kumuh ini.
Kamar gelap yang sangat lekat dengan
kesepian.
Sangat lekat dengan kesendirian.
Kesedihan dan air mata seakan menjadi
sahabatku sekarang.
Kegelapan membuatku semakin prihatin
dengan keadaanku.
Hujanpun turun dengan derasnya.
Apakah kamu merasakan rinduku?
Yang turun bersama turun bersamaan
dengan hujan.
Dan mengetuk genting rumahmu dengan
air hujan ini.
Aku hanya bisa terdiam.
Didepan jendela kamarku.
Berharap kamu datang.
Membawa kebahagiaanku kembali.
Aku terlalu menikmati malam.
Pagi datang dengan cepat.
Ayah menggedor pintu kamarku.
Rasa takut bergelayun didalam diriku.
Ayah mendobrak pintu dengan keras.
Ayah menyiksaku.
Ayah tidak ingin aku ada komunikasi.
Dengan kekasih yang aku cintai.
Suara ayah yang menggelegar di setiap
sudut kamar.
Membuatku menangis sejadi jadinya.
Ayah seperti penjajah belanda yang
ingin menjajahku mati-matian.
Aku lemah tak berdaya.
Ayah meninggalkan aku.
Hanya ada handphone, Al-Qur’an dan
alat sholat.
Matahari sudah tepat ada diatas
rumahku.
Aku lekas tayamum.
Ayah mengunci kamarku.
Debu di sekitar kamar menjadi
jembatan saat ini.
Agar aku bisa bercerita kepada Tuhan.
Tuhan yang maha pengasih lagi maha
penyayang.
Aku sangat khusu saat berhadapan
dengan nya.
Tak kuasa aku serahkan seluruh ragaku
hanya untuk-Mu.
Aku menyelesaikan ibadahku untuk-Mu.
Aku mengadahkan tangan dan bercerita
bersamamu.
“Ya Allah
biarkan aku merasakan kebahagiaanku kembali bersama kekasihku. Kami sama-sama
menyayangi-Mu. Mencintai-Mu. Tuhan kami sama. Tuhan kami engkau. Kami hanya
mempunyai sebutan masing-masing untuk menyebut namanu. Biarkan kami bersama
kembali ya Allah. Amin”
Handphone ku berbunyi membuatku
tersentak.
Telepon dari seseorang yang aku
tunggu.
Kekasihku!
Aku mengangkat nya.
Aku rindukan suara ini.
Suara yang membuatku merasakan
ketenangan.
Dia memanjakan ku meski hanya lewat
udara.
Senyum ini muncul kembali.
Tuhan mendengar do’a ku.
Tuhan hadirkan dia meski hanya lewat
udara.
Tuhan sayang kepada kami.
Sayang kepadaku dan kekasih ku.
Aku terkejut!
Belum semua rindu yang aku sampaikan.
Komunikasi terputus.
Aku menunggu telepon nya bordering
kembali.
Menunggu.
Aku hanya bisa menunggu.
Tanpa menghiraukan apapun.
Tanpa memikirkan apapun.
Hari ini, 7 Agustus 2011
Tiga hari sudah berlalu.
Tak ada kabar dari kekasihku.
Maka tak ada sedikitpun senyum
dibibirku.
Aku melihat ayah pergi dari jendela
kamarku.
Aku tenang karna aku tak akan
merasakan linu di tulangku.
Karna ayah tak akan menyiksa tubuh
mungilku ini.
Yang sudah banyak memar karna siksaan
ayah.
Dedaunan jatuh seakan tak ada dahan
yang membuatnya tertahan lagi.
Burung enggan berkicau seakan ikut
berduka karna keadaan ku akhir-akhir ini.
Bahkan matahari pun enggan muncul
akhir-akhir ini.
Hanya hujan yang ada seakan bumi dan
cuaca tau apa yang aku rasakan.
Aku mendengar seperti ada bunyi seseorang
yang mengetuk pintu.
Aku buka pintu kamarku yang tercipta
dari kayu tua.
Yang mengeluarkan decitan saat aku
membuka nya.
Aku bergegas keluar dari kamar gelap
yang selalu menemaniku.
Aku menuruni anak tangga yang seakan
rindukan pijitan kakiku di tubuhnya.
Aku bergegas menuju suara ketukan
pintu itu.
Aku membukanya dan ternyata pak
pos.
Menyampaikan surat dari kekasihku.
Aku berterimakasih dan bergegas pergi
ke kamar gelapku lagi.
Aku takut ayah tahu aku menerima
sepucuk surat dari kekasihku.
Aku mengunci kamarku dan aku
menyiapkan diriku.
Untuk membacak sepucuk surat dari
kekasih kesayanganku.
“Tiga hari yang
lalu suaramu mengalir begitu lembut dari sambungan telepon seluler. Entah sudah
berapa minggu kita tak bertemu. Entah sudah berapa hari aku dan kamu terpaksa
tak saling menatap dan memandang. Karna takdir sedang memainkan perannya. Karna
nasib sedang meneguhkan langkahnya. Aku dan kamu tak bisa apa-apa. Terutama
saat semua orang menganggap kita salah. Terutama saat aku dan kamu dianggap
melanggar norma agama, saat kita layaknya tahanan cinta yang menyerah pada
hukum agama. Terang takan pernah bisa menyatu dengan gelap.
Kau ingin tahu
satu hal tentangku? Aku sangat merindukanmu. Aku rindu saat kamu menungguku di
depan gereja seusai misa pagi. Aku rindu saat kita makan mie ayam kesukaan
kita. Aku rindu saat menunggu mu selesai sholat di mesjid. Aku rindu melihat
wajah cantik mu yang terlihat bercahaya seusai membasahinya dengan air wudhlu.
Aku suka senyum mu yang bersimpul dibalik bibir mungilmu. Sungguh aku sangat
rindu pertemuan kita, aku sangat rindu menghabiskan waktu bersamamu. Dan entah
mengapa kebahagiaan itu semakin pudar saat hadir orang-orang yang tak mengerti
dan tak paham dengan keadaan kita. Maukah kau katakana pada mereka yang membenci
kita? Bahwa sebenarnya kita bukan pendosa. Maukah kau meyakinkan mereka? Bahwa
aku dan kamu tak sehina yang mereka pikirkan. Haruskah kita mengakhiri semua
yang nyatanya kebahagiaan selalu hadir didalam hubungan kita? Haruskah kita
menyerah pada persepsi yang mengatakan bahwa kita salah? Haruskah kita berpisah
karnah kita berbeda agama? Apa salahku dan apa salahmu?
Aku mengenalmu
sebagai sosok yang tegar dan kamupun mengenalku sebagai sosok yang gigih.
Selama kita bersama tidak pernah terlihat air mata jatuh setitikpun. Tapi,
ternyata pada akhirnya kita menyerah, menyerah pada takdir yang awalnya
mempertemukan kita dan akhirnya memisahkan kita. Apakah hatimu patah? Apakah
sayap-sayapmu yang dulu sempat memelukku juga patah? Apakah ada air mata yang
luruh dari matamu yang indah? Aku tak tahu mengapa norma agama harus membedakan
kita. Sehingga aku dan kamu memiliki sekat dan jarak, membuat kita terlihat tak
lagi sama, membuat kita terpaksa berpisah. Sebenarnya apa salahku dan apa
salahmu? Karna kita tak pamer kemesraan semerti pasangan-pasangan tolol
lainnya. Kita juga tak membuat video mesum sebab terjadinya zinah. Kita tak
melanggar norma asusila, tapi kenapa dimata semua orang kita terlihat seperti
sampah?
Sayang, sungguh
aku tak ingin tersiksa seperti ini. Sungguh aku tak ingin perpisahan kita
menjadi sebab tangisku dan tangismu. Aku ingin semua seperti dulu. Aku ingin
tawa renyah mu dan senyum manismu menghiasi mozaik hari-hariku. Kebahagiaan
kita terenggut oleh sesuatu yang kita sebut norma. Sesuatu yang seharusnya
mengatur tapi malah menyakiti kita. Sebenarnya mereka yang menyalah kan kita
adalah mereka yang tak benar-benar mengenal kita. Tugas cinta adalah
menyatukan, salahkah jika cinta menyatukan kita yang berbeda? Bukankah kita
hanya saling jatuh cinta? Bukankah kita hanya makhluk kecintaan Tuhan
yang belajar untuk menyentuh cinta? Apa yang salah, sayang? Katakan apa yang
salah!!
Aku menulis
surat ini sesaat sebelum pengakuan dosa. Pastor sudah berada didalam ruangan.
Aku masih diluar masih menormalkan frekuensi detak jatungku yang kian menit tak
berirama. Dengan menulis ini mungkin aku bisa sedikit tenang. Aku mungkin akan
bercerita banyak pada pastor, air mataku mungkin akan kembali menetes, dan
berkali-kali mungkin aku akan mengulang cerita yang sama, cerita tentangmu.
Didalam ruang pengakuan dosa, mungkin aku akan mengakui banyak dosa yang sudah
aku lakukan. Dan mungkin dosa yang ku akui pertama kali adalah mencintaimu.
Mencintai dosa termanisku.”
Aku hanya bisa diam.
hidup ini sungguh aneh
dan tidak adil.
suatu kali hidup melambungkan
mu setinggi langit.
kali yang lainnya
menghempaskan begitu keras ke dasar bumi.
aku menyadari dia adalah
satu-satunya.
yang paling aku butuhkan
di hidup ini.
kenyataan berteriak lain
di telingaku.
kalau dia juga satu
satunya orang yang tidak boleh aku dapatkan.
kata-kata ku mungkin
tidak masuk akal.
bahkan konyol tapi
percayalah.
aku rela melepaskan apa
saja melakukan apa saja.
asal bisa bersamanya.
tetapi apakah manusia
bisa mengubah kenyataan?
kalian tahu? satu-satunya
yang bisa ku lakukan sekarang.
hanya keluar dari
hidupnya.
aku tidak melupakan
dirinya.
tetapi aku harus
melupakan perasaanku padanya.
walaupun itu berarti aku
harus menghabiskan sisa hidupku.
mencoba melakukannya,
pasti butuh waktu lama.
sebelum aku bisa
menatapnya.
menatapnya tanpa
merasaskan apa yang kurasakan setiap kali aku melihatnya.
mungkin suatu hari nanti.
aku tidak tau kapan rasa
sakit ini akan hilang.
dan baru kamu akan
bertemu kembali.
sekarang saat ini saja.
untuk beberapa detik
saja.
aku ingin melupakan semua
orang.
mengabaikan dunia.
melupakan asal usul serta
latar belakangku.
tanpa beban, tuntutan,
ataupun harapan.
aku ingin mengaku.
aku mencintainya.
Kamar gelap terpojok di bagian atap rumahku.
Tempat dimana aku hanya
bisa terdiam tanpa sepatah kata pun.
Aku tak peduli saat
orang-orang menganggapku gila dan tak waras.
Karna hanya dengan diam
aku bisa tenang menerima kenyataan.
Tuhan. Kau yang menciptakan dia dengan segala kuasa-Mu.
Kau yang takdirkan aku
bertemu, bersama,berdoa dan menjalani semuanya.
Jika pada akhirnya
takdirmu pula yang memisahkan.
Biarkan aku sendiri
berteman dengan sepi.
Biarkan aku lupa dengan sendirinya.
Sampai aku kuat keluar
dari kamar dimana aku menenangkan diri.
Meski kita terpisahkan
karna norma agama.
Tuhan tau dan akan selalu
tau bahwa kita saling mencinta.
Aku belajar menghilangkan perasaanku kepadanya.
Bukan melupakannya hanya
menghilangkan.
Aku ingin tetap menjalani
hidup.
Ini saatnya aku bangkit
dari hidup yang baru saja melemahkan aku.
Saat senja berganti malam.
Dan bulan berganti
matahari.
Langit menjadi cerah.
Tuhan menatapku dengan
senyuman.
Ayam yang berkokok seakan bernyanyi dengan irama nya.
Embun membasahi dedaunan
seakan menyegarkan kehidupanku lagi.
Aku tersenyum dengan
lebar.
Aku sambut hari baru
dengan keceriaan.
Hari baru tanpa ada kekasihku yang berbeda saat menyebut nama-Mu.
Hari baru tanpa sepi dan
kelam nya malam.
Hidup akan terus berjalan
dan Tuhan pasti berikan aku yang terbaik.
Selamat tinggal masalalu,
selamat datang kebahagiaan.
Subscribe to:
Posts (Atom)