Tuesday 28 May 2013

TRAGEDI BADMOOD!!




"Ngapain ya?" adalah pertanyaan paling simple yang susah dijawab ketika kalian lagi ngerasain badmood dan bete. Beda pertanyaan disetiap perbedaan situasi ternyata berpengaruh ke tingkat sulit-enggaknya jawaban yang akan dijawab. Suer, karena ini aku rasain.

Jujur, perasaan badmood itu perasaan paling ngga enak. 
Aku jelasin, bad-mood. Bad artinya buruk, mood artinya ngemut (?). Sorry, mood adalah suasana hati. Berarti kalau disatuin, badmood adalah suasana hati yang buruk. Bayangin, hati yang kosong aja rasanya udah ga enak banget, apa lagi kalau sampai buruk. Tapi buat hatinya yang udah ke isi, kadang jadi kerasa percuma juga sih kalau itu hati ada isinya tapi masih suka ngerasain badmood.

Alinea terakhir diatas emang agak ga nyambung sih. Tapi gpp, cuekin aja..

Tapi beneran, kalau lagi badmood. Ngelakuin apapun rasanya jadi berat dan malesin. Contoh simple adalah make deodoran, make deodoran adalah hal simple yang biasa dilakukan para pelaku bau ketek. Gampang buat dilakuin, tapi karena badmood semua hal yang biasanya kita lakukan dengan ringan tangan, langsung berubah semenjak tragedi badmood datang. Segala sesuatu jadi malesin untuk dilakuin. 

Otak kita akan bekerja lebih giat dari biasanya, karena mikirin hal apa yang bisa kita lakuin untuk hilangin rasa badmood. Justru sekarang ini otaknya aku lagi bekerja dengan sangat giat, akhirnya dia menemukan jalan pintasnya, yak! dengan menulis. Dan aku pun menulis..

Tapi justru tulisan ini akan berakhir dengan gantung dan tanpa solusi, karena otak aku ga nemuin jalan keluar kedua untuk menghilangkan rasa badmood ini, semacam plan A plan B. Satu-satunya cara adalah tidur.

Friday 17 May 2013

10menit lagi:")


Kini, siang ini. Aku berdiri disebuah pusaran, menatap nisan yang bertuliskan nama “cakka kawekas nuraga”. Kekasih yang aku cintai, belahan jiwaku, hembusan nafasku  dan mungkin bila sekarang ia masih ada disampingku, ia akan menjadi calon suamiku. Tapi smua ini tak akan mungkin terjadi kalau cakka tak mengalami peristiwa itu.

Seminggu yang lalu, tepatnya pada malam hari, aku mengadakan party bersama teman-temanku dirumah Zevana sebagai tanda kelulusan pasca kuliah. Party berjalan dengan meriah, namun ketika waktu menunjukan pukul 23.30, hujan turun dengan derasnya padahal aku sudah memutuskan  untuk pulang.

Cakka terus menelpon ku, berharap aku dalam keadaan baik-baik saja, mungkin ia khawatir karna diluaran sana sedang turun hujan, ia terus memaksaku untuk tetap diam dirumah Zevana sampai ia datang untuk menjemputku.

“Kka, kamu gak usah jemput aku. Diluar sana sedang hujan deras, aku akan pulang sendiri bila hujan sudah mulai berhenti” ucapku kepada Cakka melalui via telpon

“aku akan tetap jemput kamu Ni, kamu tunggu disana ya. 10 menit lagi, aku akan sampai dirumah Zevana”

“tapi kka…Ttuut.. Ttuut.. Ttuut..”

“hallo.. Kka..” sambungan via telpon pun terputus

Aku hanya menggerutu sebal, seenak jidatnya ajah si Cakka main memutuskan sambungan telponnya padahal aku belum sempat berbicara sesuatu kepadanya. Kini aku sedang berdiri dipojokan tembok untuk menunggu Cakka, hujan sudah mulai berhenti tapi butir-butirannya masih menghiasi malam nan dingin ini.

Tak lama mobil Cakka berhenti disebrang jalanan sana, kontan aku langsung melambaikan tangannku kepadanya. Aku tersenyum bahagia saat Cakka mulai turun dari mobilnya sambil memakai payung berwarna hitam polos, sungguh beruntungnya diriku memiliki kekasih seperti dirinya, rela menjemputku walau sudah larut malam ditambah dengan tadi hujan turun begitu saja dengan derasnya. Cakka berdiri gagah dengan tangan kirinya memegang  gagang payung dan tangan kanannya membalas lambaian tanganku, senyumnya pun tak berhenti terpancar dari garis bibirnya.
Ia masih berdiri dengan memegang payung itu, senyumnya pun tak pudar sama sekali, ia masih terus memberikan senyumnya itu kepadaku walaupun aku tak begitu jelas melihatnya. Cakka mulai menyebrang jalan untuk menghampiriku, tapi tiba-tiba perasaanku berkata lain, aku tak ingin cakka menghampiriku. Biar aku yang menghampiri cakka walaupun butiran air hujan itu masih ada..

Dan…

“Cakkaaaaaaaa” teriakku keras, mataku membulat, dadaku mulai sesak..

“gak mungkin… cakkkaaaaaaa”

Payung hitam yang dipeganginya pun terlempar keatas dengan sendirinya, badannya terseret hingga 10 meter  jauhnya. Sedangkan mobil yang tadi menabraknya, pergi begitu saja.  Aku segera berlari untuk menghampirinya, tak peduli walaupun badanku basah kuyup akibat butiran air hujan yang terusmengguyurku. Darah segar mengalir begitu saja dari kepalanya bersamaan dengan turunnya hujan. Aku menangis tak percaya, ku tatap wajahnya iba, ku letakan kepalanya diatas pahaku.

“Kka, banguuun.. jangan tinggalin aku!!” teriakku dihadapan wajahnya

Ku coba untuk membangunkannya, tapi nihil. Ku belai pipinya, perlahan ku usap darahnya dengan telapak tanganku. Aku mulai mengangkat telapak tanganku dan meletakannya kedepan wajahku, aku tatap telapak tanganku dengan rasa tak percaya, darah cakka begitu kental namun kemudian hilang terbawa aliran air hujan.
Aku goyangkan tubuh cakka, aku genggam tangannya.. “tuhan, jangan pisahkan aku dengan cakka” batinku menangis

“cakkkkkkkkaaaaaaaaaa” terikku histeris, aku meraung-raung akan kejadian ini

Begitulah kejadian yang masih terus membayangiku, seminggu sudah Cakka pergi meninggalkan diriku. Sendiri, disini!!

“Agni, kita pulang yuk. Hari sudah mulai sore” ka Alvin membuka suara, aku menatapnya sayu perlahan mulai mengangguk kecil

****

Esok harinya, aku memutuskan untuk pergi kemakam Cakka. Aku ingin hari ini bisa ada disampingya. Aku terduduk lesu, ku letakkan mawar merah yang tadi ku bawa disamping nisannya, perlahan kusentuh batu nisannya, kurasakan sentuhan itu seperti aku sedang menyentuh pipinya. Air mataku mulai turun,aku ingat smua waktu yang telah aku dan cakka habiskan bersama, aku ingat saat cakka memperkenalkan dirinya dihadapanku, aku ingat saat cakka menyatakan perasaannya kepadaku, aku ingat saat cakka mengajakku untuk bertunangan, aku ingat saat cakka meminta ijin kepada ayah, bunda dan ka Alvin untuk menikahiku dan hal yang paling sangat aku ingat adalah saat cakka mulai pergi meninggalkan diriku sendiri.

“kamu sayang aku?” tanyaku

“hey, kenapa kamu harus bertanya sepeti itu Ni? Aku sayang kamu, melebihi apapun” jawabnya yakin

“kamu janji gak akan tinggalin aku kan Kka?”

“aku janji, sampai kapan pun aku tidak akan pernah meninggalkan mu sampai maut  yang akan mengakhiri  dan memisahkan hubungan kita nantinya”

Ku peluk erat tubuh cakka, aku tak ingin kehilangan dirinya. SUNGGUH, AKU TAK INGIN KEHILANGAN DIRINYA. Cakka mengelus rambutku sayang, perlahan ia kecup keningku lama. Aku merasakan kenyamanan itu. Tapi?? Kini?? Ia pergi meninggalkan diriku tanpa kembali.

Langit mulai gelap, padahal waktu masih menunjukan pukul 3 sore. Rintikan air hujan mulai turun, aku mulai kembali mengingat smuanya..

Langit begitu gelap..
Hujan tak juga reda..
Kuharus menyaksikan,
Cintaku terenggut tak terselamatkan..

Ingin ku ulang hari..
Ingin ku perbaiki..
Kau sangat kubutuhkan..
Beraninya kau pergi dan tak kembali..

“kenapa kamu harus tinggalin aku secepat ini sih Kka?”  ucapku terisak bersama turunnya air hujan

Dimana letak surga itu...
Biar ku gantikan..
Tempatku denganmu..
Adakah tangga surga itu..
Biar kutemukan untuk bersamamu..

“aku gak sanggup hidup tanpa kamu Kka, aku disini sendiri, aku butuh kamu”

“kamu gak boleh tinggalin aku Kka, aku pengen nyusul kamu. Disana, disurga”

Ku biarkan senyumku..
Menari diudara..
Biar semua tau,
Kematian tak mengakhiri..

“walau kamu sedang  jauh disana, aku akan tetep yakin bahwa rasa sayang dan cinta kamu ke aku akan slalu ada”

“aku sayang kamu kka, kamu harus janji kalau kamu akan slalu mengisi kekosongan hatiku ini”

“kamu memang sudah pergi kka, tapi bagiku kamu masih hidup karna sampai kapan pun kamu akan slalu ada didalam
hatiku”

“slamat tinggal Cakka Kawekas Nuraga, biarlah smua kenangan kita terekam oleh aliran air hujan yang terus turun mengalir”

Monday 7 January 2013

Gendong aku sampai ajal menjemput


Suatu malam ketika aku kembali ke rumah, istriku menghidangkan makan malam untukku, sambil memegang tanganya aku bertanya “saya ingin mengatakan sesuatu kepadamu,” dia langsung duduk disamping sambil menemaniku menikmati makan malam dengan tenang. Dari raut wajah dan matanya kutahu dia sedang memendam luka batin yang membara.
Tiba-tiba aku tidak tahu harus memulai percakapan dari mana. Kata-kata rasanya berat keluar dari mulutku. Akan tetapi aku harus membiarkan istriku menegetahui apa yang sedang kupikirkan. Aku ingin sebuah perceraian diantara kami. Aku lalu memberanikan diri untuk membicarakannya dengan tenang. Nampaknya dia tidak terganggu samasekali dengan pembicaraanku, dia malah ballik bertanya kepadaku dengan tenang, tapi mengapa?
Aku menolak menjawabnya. Ini membuatnya sungguh merah kepadaku. Dia membuang choptiks di tangannya dan mulai beteriak kepadaku,”engkau bukan laki-laki sejati.” Malam itu kami tidak bertegur sapa. Dia terus menangis dan menangis. Aku tahu bahwa dia ingin menegetahui alas an dibalik keinginanku untuk bercerai. Tetapi aku dapat memberinya sebuah jawaban yang memuasakan “dia telah menyebabkan kasihsayangku hilang terhadap Jane (wanita simpananku). Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya kasihan kepadanya.”
Dengan sebiuah rasa bersalahyang dalam, aku membuat sebuah pernyataan persetujuan perceraian, bahwa dia dapat memiliki rumah kami, mobil dan 30% dari keuntungan perusahaan kami. Dia sungguh marah, merobek kertas itu. Wanita yang menghabiskan 10tahun hidupunya bersamaku kini telah menjadi orang asing dirumah kami, khususnya di hatiku. Aku meminta maaf untuknya, untuk waktunya yang telah terbuang selama 10tahun bersamaku, untuk semua usaha dan energy yang diberikan kepadaku tapi aku tidak dapat menarik kembali apa yang telah ku katakana kepada Jane bahwa aku sungguh mencintainya. Akhirnya dia menangis dengan suara keras di hadapanku yang mana aku sendiri berharap melihat terjadi padanya. Bagiku tangisannya tidak mempunyai makna apa-apa. Keinginanku sudah bulat dan aku harus melakukanya saat itu.
Hari berikutnya, ketika aku kembali ke rumah sedikit larut kutemukan istriku sedang menulis sesuatu di atas meja ruang tidur kami. Aku tidak makan malam tapi aku langsunh pergi tidur karena rasa ngantuk yang tak tertahankan akibat rasa capai sesudah seharian bertemu Jane, wanita idamanku saat itu. Ketika terbangun ku lihat istriku masih duduk di samping meja aku sambil melanjutkan tulisannya. Aku tidak menghiraukannya dan kembali meneruskan tidurku. Pagi harinya dia menyerahkan syarat-syarat perceraian yang telah ditulisnya sejak semalam kepadaku. Dia tidakj menginginkan apapun dariku, tetapi hanya membutuhkan waktu sebulan sebelum perceraian untuk saling memperlakukan sebagai suami istri dalam arti sebenarnya. Dia memintaku dalam sebulan itu kami berdua harus berjuang untuk hidup normal layaknya suami istri. Alasannya sangat sederhana “Putra kami akan menjalani ujian dalam bulan itu sehingga dia tidak mau mengganggunya dengan rencana perceraian kami.”
Aku menyetujui syarat-syarat yang dia berikan. Akan tetapi dia juga meminta beberapa syarat tambahan sebagai berikut: Dalam rentang waktu sebulan itu, aku harus mengingat kembali bagaimana pada pemulaan pernikahan kami, aku harus menggendongnya sambil mengenang kembali saat pesta pernikahan kami. Dia memintaku untuk menggendongnya selama sebulan itu dari kamar tidur sampai muka pintu depan setiap pagi. aku pikir dia sudah gila. Akan tetapi, biarlah ku coba untuk membuat harihari terakhir kami mrnjadi indah untuk memenuhi poermintaan perceraian kami.
Aku menceritakan kepada Jane (wanita simpananku) tentang syarat yang di berikan oleh istriku. Jane tertawa terbahak-bahak mendengarnya dan berfikir bahwa itu adalah sesuatu yang aneh dan tak bermakna. Terserah saja apa yang menjadi tuntutannya tapi yang pasti dia akan menghadapi perceraian yang telah kita rencanakan, demikian kata Jane.
Kami tak lagi berhubungan badan layaknya suami istri selama waktu-waktu itu. Sehingga sewaktu-waktu aku menggendongnya keluar menuju pintu rumah kami pada hari pertama, kami tidak merasakan apa-apa. Putra kami melihatnya dan bertepuk tangan dibelakang kami, sambil berkata “wow papa sedang menggendong mama” kata-kata putra kami sungguh membuat luka di hatiku.
Dari tempat tidur sampai pintu depan aku menggendong dan membawanya sambil tangganya memeluk eratlu. Dia menutup mata dan berkata pelan kepadaku “jangan berkata apapun kepada putra kita tentang perceraian ini.” Aku menurunkannya di depan pintu. Dia lalu pergi kedepan rumah untuk menunggu bis yang akan membawanya ke tempat kerjanya. Sedangkan aku mengendarai mobil sendirian ke kantorku.
Pada hari kedua, kami berdua melakukanya dengan lebih mudah. Dia merapat melekat erat didadaku. Aku dapat mencium dan merasakan keharuman tubuh dan pakaiannya. Aku menyadari bahwa aku tidak memperhatikan wanita ini dengan seksama untuk waktu yang sudah agak lama. Aku menyadari bahwa dia tidak lagi muda seperti dulu. Ada bintik-bintik kecil diraut wajahnya, rambutnya mulai beruban! Perkawinan kami telah membuatnya seperti itu. Untuk beberapa menit aklu mencoba merenung tentang apa yang telah ku perbuat kepadnya selama perkawinan kami.
Pada hari ke empat, ketika aku menggendongnya, aku merasa sebuah perasaan kedekatan/keintiman yang mulai kembali merebak di relung hatiku yang paling dalam. Inilah wanita yang telah member dam mengorbankan 10tahun kehidupanyya untukku. Pada hari keenam dan ketujuh, aku mulai menyadari bahwa kedekatan kami sebagai suami-istri mulai tumbuh kembali di hatiku. Aku tiddak mau mengatakannya kepada Jane (wanita yang akan aku nikahi setelah perceraian kami). “Aku pikir ini akan lebih baik karena aku hanya ingin memenuhi syarat yang dia minta agar nantinya aku bisa menikah dengan wanita yang sekarang aku cintai, si Jane. Aku memperhatikan ketika suatu pagi dia sedang memilih pakaian yang hendak dia kenakan. Dia mencoba beberapa darinya tapi tidak ada satupun yang cocok untuk tubuhnya. Dia lalu sedikit mengeluh, semua pakaianku terasa terlalu besar untukku sekarang.” Kemudian aku menyadari bahwa dia semakin kurus, dan inilah alasannya mengapa hari-hari itu.
Tiba-tiba kenyataan itu sangat menusuk dalam di hati dan perasaanku. Dia telah memendam banyak luka dan kepahitan hidup dihatinya. Aku langsung mengulurkan tanganku dan menyentuk kepalanya.
Tiba-toba putra kami muncul pada saat itu dan berkata?”papa, sekarang waktunya papa menggendong dan menbawa mama.” Baginya mengendong dan membawa ibunya keluar menjadi sesuatu yang penting dalam hidupnya. Istriku mendekatin putra kami dan memeluk erat dengan penuh keharuan. Aku memalingkan wajahku kea rah yang berlawanan karena takut situasi istri dan putraku mengubah keputusanku untuk mnceraikan istriku. Aku lalu mengangkatnya dengan kedua tangganku, berjalan dari kamar tidur kami, melalui ruang santai sampai pintu depan. Tanganya pelingkar erat dileherku dengan lembut dan romantic layaknya suami-istri yang hidupnya penuh kedamaian dan harmonis satu dengan lain. Aku pun memeluk erat tubuhnya dan seperti ini moment hati pernikahan kami 10 tahun yang lalu.
Akan tetapi tubuhnya yang sekarang ringan dan menbuiat ku sedih. Pada hari teakhir, ketika aku mengendonganya dengan kedua tanganku aku sangat merasa sangat berat untuk menggerakan walau cuma selangkah kedepan. Putra kami telah pergi sekolah. Aku memeluknya erat sambil berkata, aku tidak pernah memperhatikan selama ini bahwa hidup perkawinan kita telah kehilangan keintiman/keakraban satu dengan yang lain. Aku mengendarai sendiri kendaraan ke kantorku, melompat keluar dari mobilku tanpa mengunci pintunya. Aku sangat takut jangan samapai ada sesuatau yang membuat mengubah pikiranku. Aku naik kelantai atas. Jane membuka pintu dan aku berkata kepadanya, “Maaf Jane, aku tidak ingin menceraikan istriku.
Jane memandangku penuh tanda Tanya bercampur keheranan, dan kemudian menyentih dahiku dengan jarinya. “Apakah badanmu panas?” Dia berkata. Aku mengelak dan mengeluarkan tangannya dari dahiku. Maaf, Jane, aku tidak akan bercerai. Hidup perkawinanku terasa membosankan karena dia dan aku tidak memakna secara detail setiap moment kehidupan kami, bukan karena kami tidak saling mencintai satu sama lain. Sekarang akum menyadari bahwa sejak aku menggendong dan membawanya setiap pagi, dan terutama kembali mengingat kenangan hari pernikahan kami aku memutuskan untuk tetap akan menggendonya sampai hari kematian kami tak terpisahkan satu sama lain. Jane sangat kaget mendengar jawabanku. Dia menamparku dan kemudian membantingkan pintu dengan keras dan mulai meraung-raung dalam kesedihan bercampur kemarahan terhadapku. Aku tidak menghiraukanya. Aku menuruni tangga dan mengendarai mobilku, untuk pergi menjauhinya. Aku singgah disebuah toko bunga untuk istriku. Gadis penjual bunga bertanya “apa yang harus ku tulis di kartunya?” Aku tersenyum dan menulis: aku akan menggendongmu setiap pagi sampai kematian menjemput.”
Petang hari ketika aku tiba dirumah, dengan bunga ditanganku, sebuah senyum indah diwajahku, aku berlari kecil menaiki anak tangga dirumahku, hanya untuk bertemu dengan istriku dan menyerahkan bunga itu sambil merangkulnya untuk memulai sesuatu yang baru dalam oerkawinan kami, tapi apa yang ku temukan? Istriku telah meninggal di tempat tidur yang telah kamu tempati selama 10 tahun pernikahan kami. Istriku telah berjuang melawan kanker ganas yang telah menyerang lambungnya berbulan-bulan tanpa pengetahuanku karena kesibukanku untuk menjalin hubungan asmara dengan Jane. Istriku tahu bahwa dia akan meninggal dalam waktu singkat akibat kanker ganas itu, dan ia ingin menyelamatkanku dari apapun pandangan negative yang mungkin akan lahir dari putra kami sebagai reaksi atas kebodohanku sebagai seorang suami dan ayah, terutama rencana gila dan bodohku untuk menceraikan wanita yang telah berkorban selama 10 tahun mempertahankan pernikahan kami.
Sekurang-kurangnya, dimata putra kami, aku adalah ayah yang penuh kasih sayang. Demikianlah makna dibalik perjuangan istriku.

Sekecil apapun dari peristiwa atau hal dalam hidup sangat mempengaruhi hubungan kita. itu bukan tergtantung pada uang di bank, mobil, atau kekayaan apapun namanya. Semuanya ini bisa menciptakan peluang untuk menggapai kebahagiaan tapi sangat pasti bahwa mereka tidak bisa memberikan kebahagiaan itu dari diuri mereka sendiri. Melainkan suami-istri lah yang harus saling member demi kebahagiaan J