Monday 7 January 2013

Gendong aku sampai ajal menjemput


Suatu malam ketika aku kembali ke rumah, istriku menghidangkan makan malam untukku, sambil memegang tanganya aku bertanya “saya ingin mengatakan sesuatu kepadamu,” dia langsung duduk disamping sambil menemaniku menikmati makan malam dengan tenang. Dari raut wajah dan matanya kutahu dia sedang memendam luka batin yang membara.
Tiba-tiba aku tidak tahu harus memulai percakapan dari mana. Kata-kata rasanya berat keluar dari mulutku. Akan tetapi aku harus membiarkan istriku menegetahui apa yang sedang kupikirkan. Aku ingin sebuah perceraian diantara kami. Aku lalu memberanikan diri untuk membicarakannya dengan tenang. Nampaknya dia tidak terganggu samasekali dengan pembicaraanku, dia malah ballik bertanya kepadaku dengan tenang, tapi mengapa?
Aku menolak menjawabnya. Ini membuatnya sungguh merah kepadaku. Dia membuang choptiks di tangannya dan mulai beteriak kepadaku,”engkau bukan laki-laki sejati.” Malam itu kami tidak bertegur sapa. Dia terus menangis dan menangis. Aku tahu bahwa dia ingin menegetahui alas an dibalik keinginanku untuk bercerai. Tetapi aku dapat memberinya sebuah jawaban yang memuasakan “dia telah menyebabkan kasihsayangku hilang terhadap Jane (wanita simpananku). Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya kasihan kepadanya.”
Dengan sebiuah rasa bersalahyang dalam, aku membuat sebuah pernyataan persetujuan perceraian, bahwa dia dapat memiliki rumah kami, mobil dan 30% dari keuntungan perusahaan kami. Dia sungguh marah, merobek kertas itu. Wanita yang menghabiskan 10tahun hidupunya bersamaku kini telah menjadi orang asing dirumah kami, khususnya di hatiku. Aku meminta maaf untuknya, untuk waktunya yang telah terbuang selama 10tahun bersamaku, untuk semua usaha dan energy yang diberikan kepadaku tapi aku tidak dapat menarik kembali apa yang telah ku katakana kepada Jane bahwa aku sungguh mencintainya. Akhirnya dia menangis dengan suara keras di hadapanku yang mana aku sendiri berharap melihat terjadi padanya. Bagiku tangisannya tidak mempunyai makna apa-apa. Keinginanku sudah bulat dan aku harus melakukanya saat itu.
Hari berikutnya, ketika aku kembali ke rumah sedikit larut kutemukan istriku sedang menulis sesuatu di atas meja ruang tidur kami. Aku tidak makan malam tapi aku langsunh pergi tidur karena rasa ngantuk yang tak tertahankan akibat rasa capai sesudah seharian bertemu Jane, wanita idamanku saat itu. Ketika terbangun ku lihat istriku masih duduk di samping meja aku sambil melanjutkan tulisannya. Aku tidak menghiraukannya dan kembali meneruskan tidurku. Pagi harinya dia menyerahkan syarat-syarat perceraian yang telah ditulisnya sejak semalam kepadaku. Dia tidakj menginginkan apapun dariku, tetapi hanya membutuhkan waktu sebulan sebelum perceraian untuk saling memperlakukan sebagai suami istri dalam arti sebenarnya. Dia memintaku dalam sebulan itu kami berdua harus berjuang untuk hidup normal layaknya suami istri. Alasannya sangat sederhana “Putra kami akan menjalani ujian dalam bulan itu sehingga dia tidak mau mengganggunya dengan rencana perceraian kami.”
Aku menyetujui syarat-syarat yang dia berikan. Akan tetapi dia juga meminta beberapa syarat tambahan sebagai berikut: Dalam rentang waktu sebulan itu, aku harus mengingat kembali bagaimana pada pemulaan pernikahan kami, aku harus menggendongnya sambil mengenang kembali saat pesta pernikahan kami. Dia memintaku untuk menggendongnya selama sebulan itu dari kamar tidur sampai muka pintu depan setiap pagi. aku pikir dia sudah gila. Akan tetapi, biarlah ku coba untuk membuat harihari terakhir kami mrnjadi indah untuk memenuhi poermintaan perceraian kami.
Aku menceritakan kepada Jane (wanita simpananku) tentang syarat yang di berikan oleh istriku. Jane tertawa terbahak-bahak mendengarnya dan berfikir bahwa itu adalah sesuatu yang aneh dan tak bermakna. Terserah saja apa yang menjadi tuntutannya tapi yang pasti dia akan menghadapi perceraian yang telah kita rencanakan, demikian kata Jane.
Kami tak lagi berhubungan badan layaknya suami istri selama waktu-waktu itu. Sehingga sewaktu-waktu aku menggendongnya keluar menuju pintu rumah kami pada hari pertama, kami tidak merasakan apa-apa. Putra kami melihatnya dan bertepuk tangan dibelakang kami, sambil berkata “wow papa sedang menggendong mama” kata-kata putra kami sungguh membuat luka di hatiku.
Dari tempat tidur sampai pintu depan aku menggendong dan membawanya sambil tangganya memeluk eratlu. Dia menutup mata dan berkata pelan kepadaku “jangan berkata apapun kepada putra kita tentang perceraian ini.” Aku menurunkannya di depan pintu. Dia lalu pergi kedepan rumah untuk menunggu bis yang akan membawanya ke tempat kerjanya. Sedangkan aku mengendarai mobil sendirian ke kantorku.
Pada hari kedua, kami berdua melakukanya dengan lebih mudah. Dia merapat melekat erat didadaku. Aku dapat mencium dan merasakan keharuman tubuh dan pakaiannya. Aku menyadari bahwa aku tidak memperhatikan wanita ini dengan seksama untuk waktu yang sudah agak lama. Aku menyadari bahwa dia tidak lagi muda seperti dulu. Ada bintik-bintik kecil diraut wajahnya, rambutnya mulai beruban! Perkawinan kami telah membuatnya seperti itu. Untuk beberapa menit aklu mencoba merenung tentang apa yang telah ku perbuat kepadnya selama perkawinan kami.
Pada hari ke empat, ketika aku menggendongnya, aku merasa sebuah perasaan kedekatan/keintiman yang mulai kembali merebak di relung hatiku yang paling dalam. Inilah wanita yang telah member dam mengorbankan 10tahun kehidupanyya untukku. Pada hari keenam dan ketujuh, aku mulai menyadari bahwa kedekatan kami sebagai suami-istri mulai tumbuh kembali di hatiku. Aku tiddak mau mengatakannya kepada Jane (wanita yang akan aku nikahi setelah perceraian kami). “Aku pikir ini akan lebih baik karena aku hanya ingin memenuhi syarat yang dia minta agar nantinya aku bisa menikah dengan wanita yang sekarang aku cintai, si Jane. Aku memperhatikan ketika suatu pagi dia sedang memilih pakaian yang hendak dia kenakan. Dia mencoba beberapa darinya tapi tidak ada satupun yang cocok untuk tubuhnya. Dia lalu sedikit mengeluh, semua pakaianku terasa terlalu besar untukku sekarang.” Kemudian aku menyadari bahwa dia semakin kurus, dan inilah alasannya mengapa hari-hari itu.
Tiba-tiba kenyataan itu sangat menusuk dalam di hati dan perasaanku. Dia telah memendam banyak luka dan kepahitan hidup dihatinya. Aku langsung mengulurkan tanganku dan menyentuk kepalanya.
Tiba-toba putra kami muncul pada saat itu dan berkata?”papa, sekarang waktunya papa menggendong dan menbawa mama.” Baginya mengendong dan membawa ibunya keluar menjadi sesuatu yang penting dalam hidupnya. Istriku mendekatin putra kami dan memeluk erat dengan penuh keharuan. Aku memalingkan wajahku kea rah yang berlawanan karena takut situasi istri dan putraku mengubah keputusanku untuk mnceraikan istriku. Aku lalu mengangkatnya dengan kedua tangganku, berjalan dari kamar tidur kami, melalui ruang santai sampai pintu depan. Tanganya pelingkar erat dileherku dengan lembut dan romantic layaknya suami-istri yang hidupnya penuh kedamaian dan harmonis satu dengan lain. Aku pun memeluk erat tubuhnya dan seperti ini moment hati pernikahan kami 10 tahun yang lalu.
Akan tetapi tubuhnya yang sekarang ringan dan menbuiat ku sedih. Pada hari teakhir, ketika aku mengendonganya dengan kedua tanganku aku sangat merasa sangat berat untuk menggerakan walau cuma selangkah kedepan. Putra kami telah pergi sekolah. Aku memeluknya erat sambil berkata, aku tidak pernah memperhatikan selama ini bahwa hidup perkawinan kita telah kehilangan keintiman/keakraban satu dengan yang lain. Aku mengendarai sendiri kendaraan ke kantorku, melompat keluar dari mobilku tanpa mengunci pintunya. Aku sangat takut jangan samapai ada sesuatau yang membuat mengubah pikiranku. Aku naik kelantai atas. Jane membuka pintu dan aku berkata kepadanya, “Maaf Jane, aku tidak ingin menceraikan istriku.
Jane memandangku penuh tanda Tanya bercampur keheranan, dan kemudian menyentih dahiku dengan jarinya. “Apakah badanmu panas?” Dia berkata. Aku mengelak dan mengeluarkan tangannya dari dahiku. Maaf, Jane, aku tidak akan bercerai. Hidup perkawinanku terasa membosankan karena dia dan aku tidak memakna secara detail setiap moment kehidupan kami, bukan karena kami tidak saling mencintai satu sama lain. Sekarang akum menyadari bahwa sejak aku menggendong dan membawanya setiap pagi, dan terutama kembali mengingat kenangan hari pernikahan kami aku memutuskan untuk tetap akan menggendonya sampai hari kematian kami tak terpisahkan satu sama lain. Jane sangat kaget mendengar jawabanku. Dia menamparku dan kemudian membantingkan pintu dengan keras dan mulai meraung-raung dalam kesedihan bercampur kemarahan terhadapku. Aku tidak menghiraukanya. Aku menuruni tangga dan mengendarai mobilku, untuk pergi menjauhinya. Aku singgah disebuah toko bunga untuk istriku. Gadis penjual bunga bertanya “apa yang harus ku tulis di kartunya?” Aku tersenyum dan menulis: aku akan menggendongmu setiap pagi sampai kematian menjemput.”
Petang hari ketika aku tiba dirumah, dengan bunga ditanganku, sebuah senyum indah diwajahku, aku berlari kecil menaiki anak tangga dirumahku, hanya untuk bertemu dengan istriku dan menyerahkan bunga itu sambil merangkulnya untuk memulai sesuatu yang baru dalam oerkawinan kami, tapi apa yang ku temukan? Istriku telah meninggal di tempat tidur yang telah kamu tempati selama 10 tahun pernikahan kami. Istriku telah berjuang melawan kanker ganas yang telah menyerang lambungnya berbulan-bulan tanpa pengetahuanku karena kesibukanku untuk menjalin hubungan asmara dengan Jane. Istriku tahu bahwa dia akan meninggal dalam waktu singkat akibat kanker ganas itu, dan ia ingin menyelamatkanku dari apapun pandangan negative yang mungkin akan lahir dari putra kami sebagai reaksi atas kebodohanku sebagai seorang suami dan ayah, terutama rencana gila dan bodohku untuk menceraikan wanita yang telah berkorban selama 10 tahun mempertahankan pernikahan kami.
Sekurang-kurangnya, dimata putra kami, aku adalah ayah yang penuh kasih sayang. Demikianlah makna dibalik perjuangan istriku.

Sekecil apapun dari peristiwa atau hal dalam hidup sangat mempengaruhi hubungan kita. itu bukan tergtantung pada uang di bank, mobil, atau kekayaan apapun namanya. Semuanya ini bisa menciptakan peluang untuk menggapai kebahagiaan tapi sangat pasti bahwa mereka tidak bisa memberikan kebahagiaan itu dari diuri mereka sendiri. Melainkan suami-istri lah yang harus saling member demi kebahagiaan J